Kepala Bappeda Konkep, Safiudin Alibas

Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memberikan rekomendasi terkait revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi Sultra.

Keputusan final dari hasil pansus tersebut masih panjang. Semua pihak diminta bersabar untuk tidak terburu-buru memberikan berbagai statement terkait keputusan Pansus tersebut.

Hal ini disampaikan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Safiuddin Alibas.

“Masyarakat tidak usah resah. Mari kita menghargai proses revisi RTRW yang sedang berjalan. Hasil Pansus kemarin, memberikan rekomendasi persetujuan baik secara materil dan teknis terkait tata ruang provinsi. Prosesnya masih panjang, belum final,” demikian ungkap dia kepada awak media beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut dia menjelaskan, terkait tahapan yang harus dilalui pasca keluarnya keputusan Pansus tersebut. Hasil Pansus itu menjadi salah satu kelengkapan Perda RTRW Provinsi yang harus dikirim ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), untuk dibahas lintas sektoral.

Pembahasan lintas sektoral tersebut, melibatkan beberapa kementrian seperti Kementrian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kementerian Pariwisata, Kementrian ESDM, Kementerian Kelautan, Kementerian Perhubungan, Kementrian Investasi, Bappenas bahkan Kementerian Pertahanan.

Keterlibatan lintas sektoral untuk memastikan bahwa rencana rancangan RTRW itu, sudah sesuai dengan arahan rencana tata ruang nasional. Kemudian juga untuk memastikan beberapa kepentingan kementerian, terkait dengan beberapa Kawasan Strategis Nasional (KSN) maupun prioritas nasional, sudah terakomodir di dalam rencana tata ruang provinsi termasuk juga rencana tata ruang kabupaten.

“Pembahasannya, berhari-hari. Setelah dibahas dan disetujui, hasilnya dikembalikan ke provinsi untuk diperbaiki. Perbaikan di provinsi pun, memakan waktu yang tidak cepat, bisa berbulan-bulan. Setelah selesai dan disetujui, kemudian keluar persetujuan substansi,” terang dia lagi.

Persetujuan substansi tersebut, menjadi acuan dan tolak ukur bahwa sudah terjadi harmonisasi antara rencana tata ruang provinsi dan rencana tata ruang nasional. Kemudian dibahas di DPRD Provinsi dan disepakati atau ditetapkan Rancangan Peraturan Daerah. Setelahnya, dikirim ke Direktorat Jenderal Daerah atau Bangda, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk dibahas lagi. Kemudian dilakukan harmonisasi oleh Biro Hukum Kemendagri, untuk mendapatkan nomor registrasi dan ditetapkan menjadi Perda.

“Prosesnya masih panjang. Tidak bisa semudah membalikan telapak tangan. Ada proses yang harus dilalui sesuai ketentuan yang sudah ditetapkan,” ungkap dia.

Karenanya, Safiudin Alibas meminta kepada semua pihak harus menahan diri dan tidak mudah memberikan berbagai macam pernyataan. Kewenangan untuk memberikan pernyataan adalah pihak provinsi. Pihak kabupaten hanya meminta kepada masyarakat untuk tetap tenang, tidak terpancing berbagai isu yang berkembang dan tidak mendasar.

“Mari kita hargai dan hormati proses-proses yang sedang berjalan. Apapun keputusannya, pemerintah akan mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar,” tegas dia.

Kemudian terkait Keputusan Mahkamah Agung (MA) baik tentang Kawasan Pertambangan maupun terkait IPPKH, menurut dia, dua keputusan Mahkamah tersebut, secara tegas menyebutkan untuk melakukan revisi pada pasal-pasal tertentu, bukan membatalkan RTRW.

Dalam melakukan revisi, kata Safiudin, harus merujuk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Penataan Ruang dan Permen ATR nomor 11 tahun 2021, dimana dalam beleid tersebut disebutkan bahwa revisi tata ruang dilakukan setiap lima kali sekali.

“Terkait keputusan MA untuk melakukan revisi juga diatur dalam ketentuan khusus, maka revisi RTRW Kabupaten akan tetap dilakukan. Tetapi semuanya berproses. Untuk revisi RTRW, jika mengacu pada PP 21 tahun 2021, maka membutuhkan waktu yang panjang, sekitar 18 bulan,” ujar dia.

Dan lagi-lagi, dia meminta kepada masyarakat untuk menghargai proses dalam melakukan revisi tersebut yang memang memakan waktu yang tidak singkat, karena harus ada keterkaitan antara RTRW Kabupaten, Provinsi dan juga Nasional termasuk juga kepentingan dan keterkaitan antar kementerian.

Saifuddin Alibas juga mengomentari soal desakan kepada Pemda Konkep untuk mencabut IUP PT Gema Kreasi Perdana (GKP), dia mengatakan, Pemda Konkep tidak memiliki kewenangan untuk mencabut IUP.

Terlebih lagi IUP yang berada di Konkep, merupakan ijin pertambangan yang sudah ada sebelum Kabupaten Konawe Kepulauan mekar dan sudah ada sebelum lahirnya RTRW Kabupaten.

“Pemda hanya menerima laporan, melakukan pengawasan lingkungan, pengendalian dan pelaporan. Kita tidak punya kewenangan untuk menghentikan,” kata dia.

Kewenangan Pemda terkait IUP, yakni jika terjadi pelanggaran lingkungan, maka akan melakukan pelaporan atau rekomendasi untuk penghentian kegiatan. Untuk usulan penghentian IUP Tambang pun, harus melalui kajian yang mendalam dan komprehensif, dengan mempertimbangkan banyak aspek. Misalkan apakah kerusakan tersebut, murni disebabkan oleh aktivitas pertambangan atau ada faktor lain. Atau apakah aktivitas pertambangan tersebut, merubah biota atau struktur ekosistem dan sebagainya.

Kajian dan mendalam serta holistik menjadi sebuah keharusan. Apalagi, dengan kehadiran industri pertambangan, terjadi multiplier effect yang cukup besar. Serapan tenaga lokal, perekonomian yang terus bertumbuh di sekitar lokasi tambang dan banyak lagi pertimbangan lainnya.

“Semua aspek, harus menjadi bagian dari pertimbangan dalam merekomendasikan penghentian aktivitas usaha pertambangan. Tidak serta merta,” demikian pungkas dia.

Sumber: Potret Sultra
Muhammad Rustam Arifin

“Sejauh ini hasil pelaporan dan pemantauan di lapangan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Konkep belum ada kesan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas usaha pertambangan di Pulau Wawonii,” ujar Kadis DLH Konkep, Muh Rustam Arifin menegaskan, Kamis (31/8).

Dijelaskannya, berdasarkan pemantauan dan penelaahan hasil laporan setiap semester baik secara administrasi maupun teknis, kondisi di lapangan belum menimbulkan kerusakan lingkungan.

“Kalau ada indikasi terjadi kerusakan lingkungan, maka fungsi DLH Konkep untuk melakukan pembinaan di lapangan. Namun, selama lebih kurang dua tahun terakhir dirinya sudah mendapatkan 3 kali laporan semester penaatan lingkungan juga pantauan secara langsung semuanya masih berjalan dengan baik,” jelasnya.

“Kita berharap, kondisi seperti itu tetap dipertahankan. Walaupun ada isu-isu yang menyudutkan, maka akan terjawab sendiri dengan kondisi yang sesungguhnya berdasarkan fakta di lapangan,” jelasnya menegaskan.

Dia menerangkan, terkait isu pemberitaan di media yang menyebutkan bahwa beberapa hewan khas Pulau Wawonii terancam punah akibat aktivitas pertambangan tidak benar adanya.

“Ada beberapa hewan yang memang pernah ada seperti burung Monde atau semacam Maleo yang pernah hidup di Pulau Wawonii pada era 70 dan 80-an, burung-burung tersebut memang ada. Akan tetapi memasuki era 90-an burung-burung tersebut sudah tidak pernah terlihat lagi. Salah satu penyebabnya adalah adanya pertumbuhan penduduk dan juga pembukaan lahan sejak era 70-an, penyebaran permukiman penduduk juga semakin intens, terutama di daerah-daerah pantai,” ujar pria berusia 54 tahun yang lahir dan besar di Wawonii ini.

Dari hasil pemantauan rona awal yang dilakukan pada 2021, beberapa jenis kupu-kupu dan capung yang dijumpai masuk dalam kategori yang tidak terancam (least concern dan not evaluated). Kategori tersebut, sesuai dengan status konservasi yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Kemudian juga untuk mamalia, dari hasil studi tersebut, ditemukan kelelawar dan babi hutan. Kedua mamalia tersebut, populasinya mengalami penurunan dan masuk dalam status hampir terancam (near threatened). Namun, untuk kasus babi hutan, hal tersebut, lebih karena adanya perburuan yang lumayan tinggi di wilayah Roko-Roko Raya atau Wawonii jauh sebelum adanya aktivitas pertambangan.

Untuk jenis burung yang dilindungi, ditemukan ada dua jenis burung yang dilindungi di wilayah Wawonii Tenggara yakni elang ular Sulawesi dan serindit Sulawesi. Secara global, kedua jenis burung tersebut masih stabil. IUCN mengelompokkan kedua jenis tersebut ke dalam kelompok least concern atau kelompok burung yang tidak terancam kepunahan. 

Terpisah, salah seorang warga Sukarela Jaya Rusdin (40), mengakui bahwa saat dia kecil masih banyak jonga yang berkeliaran di dekat kampung. Lokasi jonga biasanya berada tidak jauh dari kali Roko-roko Raya dan sangat dekat dengan jalan utama saat ini. 

Namun, di era setelah tahun 80-an, jumlahnya makin menipis dan lambat laun jonga tidak pernah ada lagi di wilayah Roko-Roko Raya.

“Dulu di dekat kali sini, masih banyak alang-alang. Jonga banyak sekali. Lambat laun mulai hilang, karena mulai ada yang buka lahan keatas ditambah ada juga yang berburu, sehingga saat ini sudah tidak ada lagi jonga di sini,” pungkas Rusdin.

Sumber: Sorot Sultra