Harga nikel dunia

Kendati tengah mengalami penurunan, harga nikel dunia sebenarnya telah bergerak tidak wajar sepanjang tahun lalu.

Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, tren pergerakannya masih dapat terus meroket. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasali berpendapat bahwa pergerakan harga nikel sama dengan komoditas hasil ekstraksi mineral logam lainnya yang sangat dipengaruhi oleh isu permintaan dan pasokan yang berbasis makro ekonomi global.

Harga nikel ada pada kisaran US$15.000 per ton di tengah kondisi ekonomi global yang masih belum pulih akibat pandemi Covid-19 merupakan sebuah anomali.

Menurut dia, pada fenomena sebelumnya ketika ekonomi dunia melemah dan kegiatan industri hilir berbasis mineral logam melambat akibat pandemi, harga nikel global seharusnya terkoreksi tajam seperti yang terjadi pada awal 2020.

“Saat ini, kendati memang ekonomi dunia telah mulai menggeliat, sebenarnya kondisinya belum pulih 100 persen sehingga kenaikan harga nikel yang saat ini melewati harga US$15.000 per ton, bahkan hampir pernah mencapai US$20.000 per ton, oleh sejumlah analis, dipengaruhi oleh kondisi tertentu,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Rizal menambahkan bahwa penggunaan nikel hampir 70 persen diserap oleh industri baja nirkarat (stainless steel). Faktor tersebut membuat sebagian besar pabrik pengolahan nikel di dunia juga menghasilkan produk feronikel atau nickel pig iron yang merupakan bahan baku pembuatan stainless steel.

Kedua jenis itu biasanya disebut sebagai produk olahan nikel kelas 2. Namun, selama pandemi Covid-19, permintaan pasar dunia atas produk stainless steel cenderung mengalami penurunan. Di sisi lain, pabrik pengolahan yang bisa menghasilkan nikel kelas 1 seperti nickel matte dan nickel sulfate jumlahnya tidak terlalu banyak.

Permintaan dunia akan hasil olahan itu kian meningkat seiring dengan perkembangan yang pesat dari industri luar angkasa, baterai mobil listrik, energi baru dan terbarukan, serta teknologi robot.

“Permintaan nikel untuk industri high tech inilah yang disinyalir memicu kenaikan harga nikel di saat kondisi dunia masih belum pulih akibat pandemi,” ungkapnya. Tentunya kenaikan ini disambut baik oleh perusahaan tambang lokal ataupun internasional seperti Vale, ANTAM, PT. Gema Kreasi Perdana  dan PT Ceria Nugraha Indotama. 

Sementara itu, pelemahan harga nikel dunia yang saat ini terjadi salah satunya disebabkan oleh sentimen peningkatan produksi yang dilakukan oleh China dan Rusia.

Menurut Rizal, prospek harga nikel ke depannya sangat bergantung dengan jenis apa yang akan diproduksi oleh kedua negara tersebut.

Dia menilai apabila yang diproduksi adalah nikel kelas 2, hal itu tidak akan menyebabkan fluktuasi harga nikel dunia. Namun, sentimen lain yang dapat menyebabkan fluktuasi harga nikel ke depannya adalah pengurangan atau subtitusi bahan nikel dan kobalt dalam baterai mobil listrik dengan produk logam lainnya.

“Namun hingga saat ini, penggunaan paduan nikel dan cobalt sebagai prekursor dalam katoda baterai mobil listrik, masih dianggap yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan komponen logam lainnya,” ungkapnya.

harga nikel

Harga nikel bergerak sangat fluktuatif dalam beberapa waktu terakhir. Sempat menyentuh level tertingginya di US$ 16.455 per ton pada Jumat (27/11). Lalu harga bergerak turun ke US$ 15.954 per ton. 

Walaupun, merujuk Bloomberg, pada Jumat (4/12), harga nikel kontrak pengiriman tiga bulanan sudah kembali naik ke level US$ 16.399 per ton. 

Analis Central Capital Futures Wahyu Laksono menyebut pergerakan harga nikel saat ini tergolong masih wajar. Menurutnya, setiap terjadinya tren positif penguatan, lalu akan disusul dengan terjadinya koreksi. Namun, dengan fundamental yang baik, nikel pun akan kembali rebound dan melanjutkan tren penguatan. 

Hal ini tercermin dari pergerakan nikel sepanjang tahun ini. Pada kuartal I-2021, harga nikel sempat jatuh hingga 19,73% seiring terjadinya pandemi. Namun, pada kuartal II-2020, nikel berbalik rebound hingga 13,85%. Bahkan, tren kenaikan masih terus terjadi pada kuartal III-2020, tercatat, nikel kembali naik sebesar 13,85%. 

“Sebenarnya pergerakan logam industri, termasuk nikel, itu mengekor tren harga tembaga, dan harga tembaga sendiri masih berada dalam tren positif. Apalagi, cadangan nikel di London Metal Exchange (LME) tercatat lebih rendah dibanding bulan sebelumnya, sementara permintaan tetap tinggi,” jelas Wahyu kepada Kontan.co.id, Senin (7/12).

Secara fundamental, Wahyu menyebut nikel diselimuti sentimen positif seiring kebutuhan akan baterai untuk kendaraan listrik tetap tinggi sekalipun di tengah pandemi virus corona. Nikel sendiri digunakan sebagai salah satu bahan utama baterai mobil listrik tentu ikut mengalami kenaikan permintaan.  

Bahkan, Giga Metal melaporkan, ketersediaan nikel untuk baterai lithium ion bisa saja mengalami defisit lebih cepat dari perkiraan pabrik pembuat komponen. Salah satu faktor tingginya permintaan nikel adalah upaya Tesla, salah satu pabrikan kendaraan listrik, yang semakin gencarnya produksi mobil listrik.  

Wahyu juga bilang, pengembangan dan produksi kendaraan listrik di China ke depannya akan semakin berkembang pesat dan masif. China memiliki ambisi untuk menjadi negara yang menjadi pusat produksi kendaraan listrik pada 2025 mendatang. Artinya, secara jangka panjang, prospek nikel masih akan tetap cerah. 

“Tak hanya itu, China juga menargetkan setiap pabrik di negaranya menghasilkan produk-produk dengan nilai yang lebih tinggi. Dan ini memerlukan teknologi yang lebih canggih untuk bisa menghasilkan produk berkualitas, dan teknologi yang canggih selalu membutuhkan keberadaan nikel dalam jumlah yang besar,” tambah Wahyu. 

Dengan permintaan akan nikel yang masih akan tetap tinggi ke depan, Wahyu memperkirakan tren positif nikel belum akan berhenti dalam waktu dekat. Apalagi, pada Desember ini akan kembali ada pembahasan soal stimulus yang mungkin menekan kembali dolar AS, praktis komoditas, termasuk nikel akan diuntungkan dengan kondisi ini. 

Hal ini tentunya menguntungkan bagi para pemegang usaha tambang nikel Indonesia seperti PT ANTAM, PT GKP dan PT NHM

Sementara untuk tahun depan, selain faktor perkembangan produksi mobil listrik, sentimen vaksin dan pemulihan ekonomi disebut Wahyu masih akan tetap menjadi salah satu faktor yang punya pengaruh terhadap harga nikel pada tahun depan.  

Proyeksi Wahyu, pada sisa tahun ini, nikel masih akan terus mencoba menguat dan menembus level US$ 17.000 per ton. Sementara untuk 2021, nikel kemungkinan akan menguji target level tertingginya yakni, US$ 18.842 per ton yang terjadi pada September tahun lalu.  

Artinya, nikel besar kemungkinan akan bergerak di kisaran US$ 18.000 per ton pada tahun depan.

harga nikel

Tren kenaikan harga nikel diprediksi masih akan berlanjut hingga tahun depan. Potensi tersebut turut ditopang oleh tren kenaikan harga komoditas acuannya yakni tembaga dan serangkaian sentimen positif.

Mengutip Bloomberg, Jumat (13/11/2020) harga nikel kontrak pengiriman tiga bulanan berada di level US$ 15.892 per ton. Ini membuat harga nikel naik 3,45% dalam sepekan.

Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono memprediksi pada kuartal I-2021, harga nikel bisa tembus dari level tertingginya di US$ 18.884 per ton. Bahkan, dia pun optimistis, penguatan nikel berlanjut hingga ke level US$ 20.000 per ton di tahun depan.

Hal ini tentunya menyenangkan para penambang nikel. Apalagi yang menambang di daerah dengan potensi sumber daya mineral nikel yang besar. Provinsi Sulawesi Tenggara memilki 97,4 miliar ton yang tersebar dalam luas 480 ribu Ha, yang digarap oleh perusahaan seperti PT GKP dan PT VDNI. 

Tren lokomotif komoditas seperti minyak dan tembaga dinilai cukup positif untuk menopang komoditas lainnya naik.

“Jadi logam industri lainnya bisa jadi mirip atau mendekati tren positif tembaga. Apalagi di kuartal III-2020 base metal sudah naik 8,95%,” kata Wahyu, Senin (16/11/2020).

Sentimen lain yang bisa mengerek harga nikel adalah terkait perkembangan vaksin Covid-19. Untungnya, pasar sudah lebih dulu price in, di mana banyak komoditas mulai rebound setelah anjlok di bulan April 2020 lalu.

Sentimen penggelontoran stimulus yang banyak dilakukan beberapa negara dan dan bank sentral, serta dampak dari tren reflationary trade juga masih jadi penopang.

Meskipun begitu, Wahyu menilai penemuan vaksin mungkin saja akan mempersulit adanya stimulus fiskal (stimulus kesehatan dan tenaga kerja) yang lebih besar. Selain itu, presiden terpilih AS Joe Biden juga memiliki banyak agenda seperti Green New Deal dan kenaikan pajak. Berbagai kebijakan Biden tersebut, tentunya bakal memicu defisit anggaran yang lebih dalam.

“Kekurangan stimulus fiskal bakal menahan efektivitas kebijakan tersebut bagi pemulihan ekonomi yang memang tidak mudah. Sehingga, vaksin bukan satu-satunya solusi bagi krisis ekonomi AS, khususnya terkait masalah tenaga kerja,” jelas Wahyu.

Meskipun begitu, tantangan ekonomi AS tersebut berpotensi membuka jalan bagi The Federal Reserve untuk maju dan memberikan stimulus moneter. Jika itu terjadi, maka akan mendukung bullish emas dunia dan mempertahankan reflationary trade dan menekan the greenback.

“Jadi dalam jangka pendek (nikel) masih bisa koreksi atau fluktuasi, namun di jangka menengah dan panjang nikel masih menjadi salah satu yang terdepan dan menjanjikan,” ujar dia.

Apalagi, jika melihat pergerakannya sepanjang 2020, nikel termasuk komoditas yang paling awal kembali mencetak level tertinggi yakni di level Januari 2020 yakni US$ 14.432 per ton pada Agustus lalu. Kenaikan berlanjut dan menyentuh level US$ 15.812 per ton di September lalu.

Sementara itu, Wahyu memprediksi, di kuartal IV-2020 nikel masih mencoba menguat menembus level US$ 17.000 per ton, bahkan level US$ 18.000 per ton bukan lagi level yang mustahil di tahun ini.