geopolitik nikel

Indonesia merupakan pemain penting dalam tata niaga nikel dunia. United States Geological Survey (USGS) melaporkan negeri khatulistiwa ini memiliki cadangan bijih nikel sebesar 21 juta ton dengan produksi 800 ribu ton pada 2019. Fakta geopolitik itu menempatkan Indonesia sebagai negara produsen nikel terbesar di dunia. 

Letak cadangan nikel tersebut berada  di bagian timur Indonesia, yang bisa dibilang surga nikel. Berbagai perusahaan pertambangan bereksplorasi di sana, mulai dari perusahaan asing seperti PT Vale hingga perusahaan-perusahaan lokal seperti PT Gema Kreasi Perdana.

Di sisi lain, Wood Mackenzie memperkirakan kebutuhan nikel dunia akan meningkat dari 2,4 juta ton pada 2019 menjadi 4 juta ton pada 2040. 

Peningkatan tersebut disumbangkan oleh produksi baja tahan karat (stainless steel) dan baterai. Kebutuhan nikel untuk baja tahan karat meningkat dari 1,65 juta ton pada 2019 menjadi 1,9 juta ton pada 2040, sementara itu kebutuhan untuk baterai meningkat dari 163 ribu ton menjadi 1,22 juta ton. Meningkatnya kebutuhan baterai ini didorong oleh berkembangnya penggunaan kendaraan listrik.

Sumber daya nikel menjadi salah satu keunggulan komparatif Indonesia. Pertama, bijih yang diproduksi memiliki kadar nikel yang lebih tinggi dibanding negara-negara produsen di kawasan Asia Pasifik seperti Filipina, Australia, dan Kaledonia Baru. Selain itu, deposit nikel Indonesia banyak terdapat di tanah (laterit) yang lebih mudah ditambang dibandingkan deposit dalam batuan.

Kedua, jarak Indonesia lebih dekat dengan pasar utama nikel dunia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Dia menilai secara geopolitik Indonesia memiliki hubungan baik dengan keempat negara tersebut yang potensial menjadi pasar utama produk nikel Indonesia. Ketiga, keamanan dalam negeri yang terjamin membuat investor nyaman dalam melakukan aktivitas pertambangan.

Indonesia memiliki semua komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi baterai kendaraan bermotor listrik. Namun terkecuali untuk litium yang harus impor dari negara produsen seperti Australia, China, dan beberapa negara di Amerika Selatan dan Afrika. 

Pendiri Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonatan Handojo menambahkan besarnya cadangan nikel Indonesia menarik minat banyak investor asing. Hal ini juga berimbas pada meningkatnya harga nikel yang kini mencapai kisaran US$15.000/ton, meskipun pada awal tahun sempat jatuh hingga mencapai sekitar US$11.000/ton. 

“Bisnis nikel kan lagi naik daun. Arahnya bukan stainless steel seperti sendok, garpu, dan panci, kita enggak bicara lagi terlalu kecil. Paling penting kan sekarang buat baterai untuk kendaraan bermotor. Dari mobil yang pakai listrik baterai, 70% bahannya nickel metal hybrid. Itu 70%-nya kan nikel,” ungkapnya kepada Alinea.id, Selasa (3/11).

Meskipun perusahaan kendaraan bermotor listrik (KBL) berlomba-lomba datang, Handojo menilai teknologi pengembangan baterai harus dikuasai oleh Indonesia sebagai tuan rumah. Hal ini berkaca pada dominasi China dalam industri stainless steel lantaran menguasai semua lini produksinya seperti nikel dan krom.

Geopolitik Indonesia hanya memiliki nikel karena masih minimnya krom yang tersedia. Sementara itu, perusahaan-perusahaan China banyak membeli dan membuka tambang krom di Afrika.

Dengan potensi yang ada, Ketua Indonesia Smelter and Mineral Processing Association (ISPA) Raden Sukhyar menilai sebenarnya Indonesia mampu menjadi pemain penting dalam industri berbasis nikel.

Menurutnya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, terutama dalam aspek pendanaan dan teknologi yang selama ini menjadi masalah utama dalam hilirisasi nikel.

Untuk menjamin kelangsungan pasar, kata Sukhyar, aliansi dengan negara-negara konsumen nikel harus dijalin. Nikel, kata dia, harus dijadikan sebagai posisi tawar untuk menghasilkan aliansi yang menguntungkan bagi Indonesia.

“Kita punya nikel lho, mari kita kerjasama. Kalian punya teknologi canggih dan kita pasok baterainya. Bagaimana kita jadi bargaining position (posisi tawar) yang kuat untuk membangun hilirisasi sejauh mungkin,” katanya.

Sukhyar menambahkan pemerintah juga mesti berperan aktif dalam mendorong inovasi dan menciptakan permintaan. Ia mengapresiasi langkah pemerintah yang memberi insentif pemotongan pajak super (super tax deduction) bagi perusahan yang melakukan kegiatan vokasi dan riset untuk mendorong inovasi.

Terkait permintaan, pemerintah harus dapat memastikan bahan baku yang digunakan berasal dari dalam negeri serta mendorong produsen dan konsumen dalam negeri untuk duduk bersama.

“Kemudian, kalau kita punya resources bagus, kita lihat di dalam negeri. Kita punya populasi terbesar di Asia Tenggara. Market size kita gede banget tuh. Pertanyaannya apakah kita bisa memproses nikel sampai produk tertentu? Mungkin sampai finished product yang bisa dimanfaatkan di dalam negeri,” ujarnya.